Selasa, 04 November 2008

Bagaimana Islam itu?

Kita paham bahwa para Nabi dan Rosul yang diutus oleh Alloh kepada umatnya masing-masing memiliki ad-din (al-millah, jalan hidup, way of life) yang sama yaitu al-islam, ini karena Alloh tidak menerima ad-din selain al-islam (surat Ali Imron (3) ayat 85). Dimana letak kesamaan ad-din mereka itu? Untuk mengetahui hal ini kita buka kembali Al-Qur’an karena ada penjelasan tentang hal ini padanya.
Dikatakan di dalam Al-Qur’an surat An-Nahl (16) ayat 36, “ wa laqod ba’atsna fi kulli ummatin rosulan, ani’budulloha wajtanibuth-thoghut …” Kata u’budu adalah kata kerja bentuk perintah dari kata kerja ‘abada. Kata ‘abada padanan katanya dalam bahasa Indonesia adalah mengabdi, menghambakan diri, menyembah, beribadah. Sehingga kata u’budu terjemahannya adalah mengbadilah, menghambakan dirilah, menyembahlah, beribadahlah kalian. Subyek dari kata ‘abada adalah ‘abid atau ‘abd artinya yang mengabdi, yang menghambakan diri, yang menyembah, yang beribadah atau padanan katanya yang lain adalah kata hamba. Obyeknya adalah ma’bud yang artinya yang diabdi, tempat menghambakan diri, yang disembah, yang diibadahi atau padanan katanya yang lain adalah kata Tuan, Tuhan, dan kata ma’bud padanan katanya dalam bahasa Arab adalah ilah. Selanjutnya digunakan kata mengabdi untuk memaknai kata ‘abada, sehingga ayat di atas bisa diterjemahkan menjadi ,” Dan sungguh telah Aku bangkitkan kepada tiap-tiap umat seorang Rosul (lalu para Rosul itu menyeru kepada umatnya masing-masing),” Mengabdilah kalian kepada Alloh dan jauhilah Ath-Thoghut.”…” Ath-Thoghut dalam ayat ini artinya adalah segala sesuatu yang diabdi selain Alloh. Dan dalam Al-Qur’an surat Al-Bayyinah (98) ayat 5 dikatakan, yang artinya,” Tidaklah mereka diperintah kecuali untuk mengbadi kepada Alloh dengan ikhlas untuk Dia semata ad-din …” Ad-din dalam ayat ini maknanya adalah amal sholeh. Dan dalam Al-Qur’an surat Adz-Dzariyat (51) ayat 56 dikatakan, yang artinya, “ Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi (kepada-Ku).” Serta di dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 36 dikatakan, yang artinya,” Mengabdilah kalian kepada Alloh dan janganlah kalian mensekutukan Dia dengan sesuatu apapun (dalam pengabdian)…” Dari ayat-ayat di atas kita tahu letak kesamaan ad-din (al-millah, jalan hidup, way of life) diantara para Nabi dan Rosul yaitu bahwa mereka “mengabdi kepada Alloh saja dan tidak mensekutukan Dia dengan sesuatu apapun (dalam pengabdian) “ dan mereka menyeru kepada kaumnya masing-masing untuk berbuat demikian. Sehingga kita tahu bahwa esensi dan prinsip dasar al-islam adalah “ Engkau mengabdi kepada Alloh saja dan engkau tidak mensekutukan Dia dengan sesuatu apapun (dalam pengabdian) “ Ungkapan bahasa Arabnya adalah “ an ta’budulloha wa la tusyriku bihi syaia.” Ini merupakan konsekuensi kalimat “la ilaha illalloh” maka orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat (Muslim) harus merealisasikan prinsip dasar ini. Lalu yang lainnya, seluruhnya, merupakan penerapan atas prinsip dasar ini.
Jika kita mengabdi kepada Alloh, maka hal itu mengharuskan kita untuk mengenal Alloh sehingga kita yakin Alloh memang yang paling berhak untuk diabdi (dijadikan Tuan, Tuhan tempat mengabdi), dan mengharuskan pula kepada kita untuk mengetahui perintah-perintah dan larangan-larangan Alloh artinya kita harus berilmu tentang Dia dan syari’at-Nya. Kita tidak mungkin mengetahui kedua hal itu tanpa melalui wahyu (kalam Alloh, ayat-ayat Alloh) yang Alloh turunkan kepada para Nabi dan Rosul-Nya dan wahyu Alloh yang terjaga keasliannya hingga sekarang adalah Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi dan Rosul-Nya yang terakhir, Rosululloh SAW. Kita mengabdi kepada Alloh dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya yang ada di dalam Al-Qur’an yang telah dicontohkan pelaksanaannya oleh Rosululloh SAW di dalam as-sunnah dan kita mengetahu as-sunnah dari hadits-hadits yang shohih. Jika kita melaksanakan perintah-perintah Alloh dan menjauhi larangan-larangan-Nya dengan ikhlas karena Dia semata, maka inilah yang dinamakan mengabdi kepada Alloh. Jika kita melakukan sesuatu dan menjauhi sesuatu, yang ada dasarnya dalam perintah-perintah Alloh dan larangan-larangan-Nya, karena selain Dia, misalnya karena segala sesuatu yang dijadikan ilah atau ma’bud (Tuan, Tuhan) selain Alloh seperti Latta, Uzza, Manat, dan lain-lain atau karena semata-mata menganggap itu adalah perbuatan baik, atau karena matif-motif keduniaan atau karena yang lainya, maka ini tidak bisa disebut mengabdi kepada Alloh dan perbuatan tersebut tidak akan diterima oleh Alloh dan diakherat kelak akan rugi orang yang melaksanakan hal itu. Namun, di dunia ini, apa saja yang diperintahkan oleh Alloh pasti mengandung maslahat. Siapapun yang menjalankan perintah Alloh dan menjauhi larangan-Nya, apakah itu dilakukan dengan ikhlas karena Alloh atau tidak, pasti akan memperoleh maslahat di dunia. Mengabdi kepada Alloh dengan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Alloh adalah sia-sia karena tidak akan diterima Alloh, inilah yang dinamakan bid’ah, lebih-lebih lagi jika mengabdi kepada Alloh dengan sesuatu yang dilarang Alloh.
Dengan demikian al-islam itu mengandung dua unsur yang tidak bisa dipisahkan yaitu Alloh dan bentuk-bentuk pengabdian kepada-Nya. Alloh adalah al-ma’bud, al-ilah (Tuan, Tuhan) yang menjadi sebab dilakukannya semua bentuk-bentuk pengabdian kepada-Nya. Adapun bentuk-bentuk pengabdian kepada Alloh adalah pelaksanaan perintah-perintah Alloh dan penjauhan diri dari larangan-larangan-Nya yang telah dicontohkan pelaksaannya dengan sempurna oleh Rosululloh SAW, dan itu pasti akan membawa maslahat di dunia dan di akherat. Karena adanya maslahat itulah bentuk-bentuk pengabdian kepada Alloh tersebut dinamakan amal sholeh. Sebagai contoh, kita tahu Alloh memerintahkan kita untuk menegakkan sholat (surat An-Nisa’ (4) ayat 103) maka kita tegakkan sholat sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rosululloh SAW dalam as-sunnah, jika hal ini dilakukan karena Alloh semata, maka inilah yang dimaksud dengan mengabdi kepada Alloh dan amalan tersebut akan diterima oleh Alloh. Demikian juga dengan amalan yang lain yang merupakan pelaksanaan perintah Alloh yang lain seperti zakat, puasa, haji, membaca ayat-ayat Alloh, makan dan minum yang halal dan baik, berbuat baik, nikah, kejujuran, keadilan, tolong menolong dalan kebaikan, dan lain-lain yang semuanya itu ada di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shohih, semuanya akan diterima Alloh jika dilakukan dengan ikhlas karena Alloh siapapun yang melakukannya. Demikianlah al-islam.
Kalau esensi dan prinsip dasar al-islam adalah ,” an ta’budulloha wa la tusyriku bihi syaia “ maka ghoirul-islam, sebagai lawannya, esensi dan prinsip dasarnya adalah “ an ta’budu ghoirollohi wa tusyriku bihi syaia “ yang artinya, “ Engkau mengabdi kepada selain Alloh dan engkau mensekutukan Dia dengan sesuatu (dalam pengabdian) “ Tentu saja amal apapun jika didasari oleh prinsip dasar ini maka tidak akan diterima oleh Alloh, siapapun yang mengamalkannya bahkan seorang Muslim sekalipun.