Rabu, 31 Desember 2008

Memahami Kebenaran Melalui Al-Qur'an

Kebenaran berasal dari kata “benar” yang mendapat awalan “ke” dan akhiran “an”. Kebenaran maknanya adalah hal yang benar. Untuk mengetahui apa itu kebenaran kita perlu merujuk kepada Al-Qur’an, karena melalui Al-Qur’an inilah Alloh menjelaskan segala sesuatu kepada manusia secara global. Dalam Al-Qur’an, kebenaran itu sepadan maknanya dengan kata ash-shidqu dan kata al-haq.

 

Kebenaran dalam arti ash-shidqu

Dari kata ash-shidqu terambil kata shodaqo. Shodaqo lawan katanya adalah kadzaba. Kata kadzaba maknanya adalah “akhbaru ‘an syaiin bi khilafi ma huwa ma’al- ‘ilmi bihi”, yang artinya adalah “menyatakan sesuatu tidak sebagaimana “ada”-nya ”, singkatnya , dusta, bohong. Maka kata shodaqo sebagai lawannya, maknanya adalah “ menyatakan sesuatu sebagaimana “ada”-nya, singkatnya, benar, jujur.  Jadi kebenaran, ash-shidqu, adalah hal sesuai sebagaimana “ada”-nya, artinya jika suatu ungkapan, perkataan itu sesuai sebagaimana adanya maka itu adalah benar, jujur dan sebaliknya jika suatu ungkapan, perkataan tidak sebagaimana adanya maka itu adalah dusta, bohong. “Ada” dalam hal ini meliputi segala sesuatu yang ada, yang terbagi dalam tiga katagori, yaitu pertama, “Ada” berzat, misalnya, Alloh, tanaman , hewan, manusia, air, jin, malaikat, proton, dan lain-lain. Kedua, “Ada” tidak berzat, misalnya, pikiran, ucapan, was-was, mimpi, keberanian, kesedihan, angan-angan, dan lain-lain. Ketiga, “Ada” yang berupa peristiwa, misalnya, tumbuh, perang, damai, fotosintesis, kelahiran, kematian, bencana, dan lain-lain.

Dari sudut pandang manusia maka segala yang ada itu terbagi ke dalam dua katagori yaitu, pertama, “Ada” bersifat syahadah artinya yang dapat ditangkap oleh panca indra dan akal manusia ketiga hidup di dunia. Kedua, “Ada” bersifat ghoib artinya yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra dan akal manusia ketika hidup di dunia. Semua yang ada, baik yang ghoib maupun yang syahadah, diketahui dengan sempurna oleh Alloh, karena Dia yang menciptakan segala yang  ada.

Dikatakan dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 115,” … wa tammat kalimatu robbika shidqon wa adla..”, yang artinya,” …dan telah sempurna kalimat robb-mu (yakni Al-Qur’an) sebagai kalimat yang shidqu dan adl…” Dalam ayat ini dikatakan bahwa kalam Alloh disifati dengan ash-shidqu ini artinya kalam Alloh menyatakan sebagaimana “ada”-nya. Maka semua kalimat yang ada di dalam Al-Qur’an, kalam Alloh, menyatakan sebagaimana “ada”-nya. Jadi jika dikatakan di dalam Al-Qur’an bahwa ada robb (tuhan) (surat Al-A’rof ayat 54) dan ilah (tuhan) manusia (surat Thoha ayat 98) yang bernama Alloh dan Dia ada di atas  Al-Arsy (surat Yunus ayat 3), ada jenis makhluk yang bernama jin yang bersifat ghoib bagi manusia (surat Al-Jin ayat 1-19, surat Al-A’rof ayat 27), ada jenis makhluk yang bernama malaikat yang bersayap yang bersifat ghoib bagi manusia ( surat Fathir ayat 1), ada surga (surat Ar-Ro’du ayat 35), ada neraka (surat Ali Imron ayat 131) dan semua “ada” yang bersifat ghoib dan syahadah lainnya yang diceritakan di dalamnya maka itu ada, eksis, bukan khayalan, mitos. Maka “ada” yang bersifat ghoib yang diceritakan di dalam Al-Qur’an, ini akan membedakan apakah seseorang itu beriman atau tidak kepada Alloh dan Rosul-Nya. Bila membenarkan berita tersebut berimanlan dia, jika tidak maka tidak berimanlah dia.

 

Kebenaran dalan arti al-haq

Al-Haq adalah lawan dari kata al-bathil. Dikatakan di dalam Al-Qur’an surat Hud ayat 15 dan 16, yang artinya,”  Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya niscaya Kami berikan kepada mereka balasan perkerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akherat kelak kecuali neraka dan lenyaplah di akherat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah (al-bathil) apa yang telah mereka kerjakan.” Dari ayat ini kita tahu makna kata al-bathil, yaitu yang sia-sia, tidak bermanfaat, tidak berpahala di akherat kelak. Maka al-haq, lawan dari kata al-bathil, maknanya adalah yang tidak sia-sia, yang bermanfaat, yang berpahala di akherat kelak. Lalu siapa yang tahu yang tidak sia-sia, yang bermanfaat, yang berpahala di akherat kelak (al-haq)?  Tak seorang manusiapun yang tahu, maka al-haq itu mesti dari Alloh  (surat Al-Baqoroh ayat 147). Kalau al-haq mengikuti kemauan manusia maka rusaklah langit dan bumi dan apa-apa yang berada di antara keduanya (surat Al-Mu’minun ayat 71).

Dikatakan di dalam Al-Qur’an surat  Ar-Ro’du ayat 1, yang artinya,” Alif lam mim ro’ Itu adalah ayat-ayat Al-Kitab (Al-Qur’an) dan apa-apa yang diturunkan kepadamu (yakni Al-Qur’an) dari robb-mu (yakni Alloh) (adalah) al-haq, akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya).” Dari ayat ini kita tahu bahwa al-haq itu ada di dalam Al-Qur’an. Dikatakan pula di dalam Al-Qur’an surat  Al-Hajj ayat 62, yang artinya,” Itu karena Alloh, Dia adalah al-haq dan apa-apa yang mereka seru selain Dia adalah al-bathil…” Dari ayat ini kita tahu bahwa Alloh  adalah al-haq dan yang  diseru selain Alloh (yakni semua yang dijadikan sebagai robb dan ilah oleh manusia selain Alloh) adalah al-bathil. Dari kedua ayat tersebut di atas maka dapatlah kita pahami bahwa bentuk-bentuk keyakinan dan amal perbuatan yang berlandaskan kepada Al-Qur’an, yang berasal dari Alloh, akan tidak sia-sia, akan bermanfaat, akan berpahala di akherat kelak kalau semuanya diniatkan karena Alloh semata ketika meyakini dan mengamalkan.

Sebagai contoh, bahwa Alloh memerintahkan kita untuk menegakkan sholat (surat An-Nisa’ ayat 103) maka kita tegakkan sholat, seperti yang telah diperintahkan oleh Alloh dan dicontohkan oleh Rosululloh SAW, dengan niat karena Alloh semata, maka amalan ini akan tidak sia-sia, akan bermanfaat, akan berpahala di akherat kelak. Contoh yang lain seperti puasa (surat Al-Baqoroh ayat 183), membaca ayat-ayat Alloh (surat Al-‘Alaq ayat 1, surat Al-Muzzammil ayat 20), jujur (surat At-Taubah ayat 119), makan dan minum yang halal dan baik (surat Al-Maidah ayat 88), adil (surat Al-Maidah ayat 8) memberi maaf  (surat Al-Baqoroh ayat 237), tolong menolong dalam kebaikan (surat Al-Maidah ayat 2), berbuat baik (surat Al-Baqoroh ayat 195), meyakini bahwa Alloh adalah robb (surat Al-A’rof ayat 54) dan ilah (surat Thoha ayat 98) bagi seluruh manusia, mentaati Rosululloh SAW (surat An-Nisa’ ayat 64), berjilbab (surat Al-Ahzab ayat 59), dan lain-lain yang semuanya itu ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, jika diyakini   dan diamalkan akan tidak sia-sia, akan bermanfaat, akan berpahala di akherat kelak kalau diniatkan karena Alloh semata ketika meyakini dan mengamalkan. Meskipun, di dunia, bentuk-bentuk keyakinan dan amal perbuatan tersebut dalam pandangan manusia tidak selalu bermanfaat lebih-lebih bagi orang yang tidak beriman.

Jadi kebenaran  dalan arti al-haq adalah mengamalkan perintah Alloh dan menjauhi larangan Alloh, yang semuanya ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena Alloh semata. Semuanya terangkum dalam ungkapan “ Engkau mengabdi kepada Alloh saja dan tidak mensekutukan Dia dengan sesuatu dalam pengabdian.” Ungkapan bahasa Arabnya adalah “ an ta’budulloha wa la tusyriku bihi syaia” yang merupakan kosekuensi dari kalimat “ la ilaha illalloh”.

Selasa, 04 November 2008

Bagaimana Islam itu?

Kita paham bahwa para Nabi dan Rosul yang diutus oleh Alloh kepada umatnya masing-masing memiliki ad-din (al-millah, jalan hidup, way of life) yang sama yaitu al-islam, ini karena Alloh tidak menerima ad-din selain al-islam (surat Ali Imron (3) ayat 85). Dimana letak kesamaan ad-din mereka itu? Untuk mengetahui hal ini kita buka kembali Al-Qur’an karena ada penjelasan tentang hal ini padanya.
Dikatakan di dalam Al-Qur’an surat An-Nahl (16) ayat 36, “ wa laqod ba’atsna fi kulli ummatin rosulan, ani’budulloha wajtanibuth-thoghut …” Kata u’budu adalah kata kerja bentuk perintah dari kata kerja ‘abada. Kata ‘abada padanan katanya dalam bahasa Indonesia adalah mengabdi, menghambakan diri, menyembah, beribadah. Sehingga kata u’budu terjemahannya adalah mengbadilah, menghambakan dirilah, menyembahlah, beribadahlah kalian. Subyek dari kata ‘abada adalah ‘abid atau ‘abd artinya yang mengabdi, yang menghambakan diri, yang menyembah, yang beribadah atau padanan katanya yang lain adalah kata hamba. Obyeknya adalah ma’bud yang artinya yang diabdi, tempat menghambakan diri, yang disembah, yang diibadahi atau padanan katanya yang lain adalah kata Tuan, Tuhan, dan kata ma’bud padanan katanya dalam bahasa Arab adalah ilah. Selanjutnya digunakan kata mengabdi untuk memaknai kata ‘abada, sehingga ayat di atas bisa diterjemahkan menjadi ,” Dan sungguh telah Aku bangkitkan kepada tiap-tiap umat seorang Rosul (lalu para Rosul itu menyeru kepada umatnya masing-masing),” Mengabdilah kalian kepada Alloh dan jauhilah Ath-Thoghut.”…” Ath-Thoghut dalam ayat ini artinya adalah segala sesuatu yang diabdi selain Alloh. Dan dalam Al-Qur’an surat Al-Bayyinah (98) ayat 5 dikatakan, yang artinya,” Tidaklah mereka diperintah kecuali untuk mengbadi kepada Alloh dengan ikhlas untuk Dia semata ad-din …” Ad-din dalam ayat ini maknanya adalah amal sholeh. Dan dalam Al-Qur’an surat Adz-Dzariyat (51) ayat 56 dikatakan, yang artinya, “ Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi (kepada-Ku).” Serta di dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 36 dikatakan, yang artinya,” Mengabdilah kalian kepada Alloh dan janganlah kalian mensekutukan Dia dengan sesuatu apapun (dalam pengabdian)…” Dari ayat-ayat di atas kita tahu letak kesamaan ad-din (al-millah, jalan hidup, way of life) diantara para Nabi dan Rosul yaitu bahwa mereka “mengabdi kepada Alloh saja dan tidak mensekutukan Dia dengan sesuatu apapun (dalam pengabdian) “ dan mereka menyeru kepada kaumnya masing-masing untuk berbuat demikian. Sehingga kita tahu bahwa esensi dan prinsip dasar al-islam adalah “ Engkau mengabdi kepada Alloh saja dan engkau tidak mensekutukan Dia dengan sesuatu apapun (dalam pengabdian) “ Ungkapan bahasa Arabnya adalah “ an ta’budulloha wa la tusyriku bihi syaia.” Ini merupakan konsekuensi kalimat “la ilaha illalloh” maka orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat (Muslim) harus merealisasikan prinsip dasar ini. Lalu yang lainnya, seluruhnya, merupakan penerapan atas prinsip dasar ini.
Jika kita mengabdi kepada Alloh, maka hal itu mengharuskan kita untuk mengenal Alloh sehingga kita yakin Alloh memang yang paling berhak untuk diabdi (dijadikan Tuan, Tuhan tempat mengabdi), dan mengharuskan pula kepada kita untuk mengetahui perintah-perintah dan larangan-larangan Alloh artinya kita harus berilmu tentang Dia dan syari’at-Nya. Kita tidak mungkin mengetahui kedua hal itu tanpa melalui wahyu (kalam Alloh, ayat-ayat Alloh) yang Alloh turunkan kepada para Nabi dan Rosul-Nya dan wahyu Alloh yang terjaga keasliannya hingga sekarang adalah Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi dan Rosul-Nya yang terakhir, Rosululloh SAW. Kita mengabdi kepada Alloh dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya yang ada di dalam Al-Qur’an yang telah dicontohkan pelaksanaannya oleh Rosululloh SAW di dalam as-sunnah dan kita mengetahu as-sunnah dari hadits-hadits yang shohih. Jika kita melaksanakan perintah-perintah Alloh dan menjauhi larangan-larangan-Nya dengan ikhlas karena Dia semata, maka inilah yang dinamakan mengabdi kepada Alloh. Jika kita melakukan sesuatu dan menjauhi sesuatu, yang ada dasarnya dalam perintah-perintah Alloh dan larangan-larangan-Nya, karena selain Dia, misalnya karena segala sesuatu yang dijadikan ilah atau ma’bud (Tuan, Tuhan) selain Alloh seperti Latta, Uzza, Manat, dan lain-lain atau karena semata-mata menganggap itu adalah perbuatan baik, atau karena matif-motif keduniaan atau karena yang lainya, maka ini tidak bisa disebut mengabdi kepada Alloh dan perbuatan tersebut tidak akan diterima oleh Alloh dan diakherat kelak akan rugi orang yang melaksanakan hal itu. Namun, di dunia ini, apa saja yang diperintahkan oleh Alloh pasti mengandung maslahat. Siapapun yang menjalankan perintah Alloh dan menjauhi larangan-Nya, apakah itu dilakukan dengan ikhlas karena Alloh atau tidak, pasti akan memperoleh maslahat di dunia. Mengabdi kepada Alloh dengan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Alloh adalah sia-sia karena tidak akan diterima Alloh, inilah yang dinamakan bid’ah, lebih-lebih lagi jika mengabdi kepada Alloh dengan sesuatu yang dilarang Alloh.
Dengan demikian al-islam itu mengandung dua unsur yang tidak bisa dipisahkan yaitu Alloh dan bentuk-bentuk pengabdian kepada-Nya. Alloh adalah al-ma’bud, al-ilah (Tuan, Tuhan) yang menjadi sebab dilakukannya semua bentuk-bentuk pengabdian kepada-Nya. Adapun bentuk-bentuk pengabdian kepada Alloh adalah pelaksanaan perintah-perintah Alloh dan penjauhan diri dari larangan-larangan-Nya yang telah dicontohkan pelaksaannya dengan sempurna oleh Rosululloh SAW, dan itu pasti akan membawa maslahat di dunia dan di akherat. Karena adanya maslahat itulah bentuk-bentuk pengabdian kepada Alloh tersebut dinamakan amal sholeh. Sebagai contoh, kita tahu Alloh memerintahkan kita untuk menegakkan sholat (surat An-Nisa’ (4) ayat 103) maka kita tegakkan sholat sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rosululloh SAW dalam as-sunnah, jika hal ini dilakukan karena Alloh semata, maka inilah yang dimaksud dengan mengabdi kepada Alloh dan amalan tersebut akan diterima oleh Alloh. Demikian juga dengan amalan yang lain yang merupakan pelaksanaan perintah Alloh yang lain seperti zakat, puasa, haji, membaca ayat-ayat Alloh, makan dan minum yang halal dan baik, berbuat baik, nikah, kejujuran, keadilan, tolong menolong dalan kebaikan, dan lain-lain yang semuanya itu ada di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shohih, semuanya akan diterima Alloh jika dilakukan dengan ikhlas karena Alloh siapapun yang melakukannya. Demikianlah al-islam.
Kalau esensi dan prinsip dasar al-islam adalah ,” an ta’budulloha wa la tusyriku bihi syaia “ maka ghoirul-islam, sebagai lawannya, esensi dan prinsip dasarnya adalah “ an ta’budu ghoirollohi wa tusyriku bihi syaia “ yang artinya, “ Engkau mengabdi kepada selain Alloh dan engkau mensekutukan Dia dengan sesuatu (dalam pengabdian) “ Tentu saja amal apapun jika didasari oleh prinsip dasar ini maka tidak akan diterima oleh Alloh, siapapun yang mengamalkannya bahkan seorang Muslim sekalipun.

Sabtu, 25 Oktober 2008

Apa sih Islam itu?

Kata Islam berasal dari bahasa Arab al-islam. Kata al-islam ada di dalam Al-Qur’an dan padanya tersirat penjelasan tentang kata ini. Di dalam Al-Qur’an, kata al-islam ada di enam ayat yaitu surat Al-Maidah (5) ayat 3, surat Ali Imron (3) ayat 19 dan 85, surat Al-An’am (6) ayat 125, surat Az-Zumar (39) ayat 22, dan surat Ash-Shof (61) ayat 7. Dari keenam ayat itu yang menjelaskan tentang al-islam secara singkat dan padat ada di tiga ayat yaitu surat Ali Imron (3) ayat 19 dan 85, dan surat Al-Maidah (5) ayat 3. Untuk mengetahui apa sih Islam itu ? Kita bahas ketiga ayat tersebut satu per satu.
Di dalam Al-Qur’an surat Ali Imron (3) ayat 19 dikatakan, “ innad-dina ‘indallohil-islam …” yang artinya, “ Sesungguhnya ad-din disisi Alloh (adalah) al-islam …” Kata Alloh tidak diterjemahkan karena kata ini adalah nama diri (‘alam syakhsi, proper noun) yaitu nama robb dan ilah (Tuhan) yang sesungguhnya bagi seluruh manusia. Kata al-islam tidak diterjemahkan karena ia juga adalah nama diri yaitu nama suatu ad-din, seperti makna yang tersirat di dalam ayat ini. Kata ad-din dalam ayat ini maknanya adalah al-millah, jalan hidup, way of life. Tentu saja kata ad-din ini berbeda maknanya dengan kata agama karena dalam pengertian agama maka tidak semua orang beragama, misalnya kaum atheis, sedangkan dalam pengertian ad-din maka setiap orang pasti memiliki ad-din tertentu artinya memiliki al-millah tertentu, memiliki jalan hidup tertentu, memiliki way of life tertentu, termasuk seorang atheis sekalipun. Yang dapat dipahami dari ayat ini diantaranya adalah, pertama, bahwa al-islam adalah nama suatu ad-din. Kedua, al-islam adalah suatu ad-din yang berasal dari sisi Alloh (‘indalloh) karenanya al-islam disebut juga dinulloh (surat An-Nashr (110) ayat 2). Jadi al-islam bukan buah pikiran manusia. Ad-din ini sampai kepada manusia melalui wahyu yang Alloh turunkan kepada para Nabi dan Rosul-Nya (diantanya Rosululloh SAW). Para Nabi dan Rosul itu hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan oleh Alloh kepadanya (surat Yunus (10) ayat 15). Ketiga, dalam bahasa Arab kata al-islam memiliki makna, memiliki arti yaitu, “ al-inqiyadu liamaril-‘amiri wa nahihi bi la i’tirodh ” yang artinya,” tunduk kepada perintah dan larangan yang memerintah tanpa membantah. “ Penamaan ad-din tersebut dengan al-islam menunjukkan sifat dari pada ad-din tersebut yakni ketundukan (kepada Alloh) tanpa membantah, menolak, atau protes dengan alasan misalnya tidak sesuai dengan akal, perasaan, perkembangan zaman, dan lain-lain. Penamaan ini sungguh sangat tepat. Hal ini tidak mengherankan karena yang memberi nama adalah Alloh yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
Di dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah (5) ayat 3 dikatakan,”…al-yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’mati wa rodhitu lakumul-islama dina …”, yang artinya,” …pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian ad-din kalian dan telah Aku sempurnakan bagi kalian ni’mat(dari)-Ku dan Aku telah ridho al-islam sebagai ad-din bagi kalian …” Kata ad-din dalam ayat ini maknanya adalah al-millah, jalan hidup, way of life. Kata “kalian” dalam ayat ini yang dimaksud adalah Rosululloh SAW dan para sahabat. Dalam ayat ini digunakan kata ad-din, tunggal, bentuk jamaknya adalah al-adyan, hal ini menunjukkan bahwa ad-din Rosululloh Saw dan para sahabat adalah satu, sama, sejalan. Dari ayat ini dapat dipahami diantaranya, pertama, bahwa Alloh telah menyempurnakan ad-din Rosululloh Saw dan para sahabat. Tentu ini berarti ad-din mereka telah sempurna. Ad-din mereka dibangun berdasarkan ayat-ayat Alloh (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Rosululloh SAW, tersirat dalam kata-kata “ akmaltu lakum dinakum “ Ad-din mereka tidak lain adalah penerapan Al-Qur’an secara yang paling sempurna atas petunjuk Alloh melalui Rosululloh SAW. Ad-din mereka sempurna secara individu ada pada diri Rosululloh SAW, inilah yang dinamakan millatu Rosulillah SAW atau as-sunnah. Ad-din mereka sempurna secara komunitas ada pada mereka secara berjama’ah, inilah yang dinamakan al-jama’ah. Kedua, Alloh menyebut ad-din (atau al-millah, jalan hidup, way of life) Rosululloh SAW dan para sahabat dengan al-islam, penyebutan ini tersirat di dalam kata-kata “rodhitu lakumul-islama dina “ Ketiga, al-islam adalah ad-din yang diridhoi Alloh.
Di dalam Al-Qur’an surat Ali Imron (3) ayat 85 dikatakan, “ wa may yabtaghi ghoirol-islami dina, fa lay yuqbala minhu wa huwa fil-akhiroti minal-khosirin” yang artinya,” Dan barang siapa mengharap selain al-islam sebagai ad-din maka tidak akan diterima darinya (ad-din itu) dan dia diakherat kelak (akan) termasuk orang-orang yang rugi” Kata ad-din dalam ayat ini maknanya adalah al-millah, jalan hidup, way of life. Yang dapat dipahami dari ayat ini adalah, pertama, bahwa ad-din selain al-islam tidak akan diterima oleh Alloh. Kedua, bahwa seluruh Nabi dan Rosul yang diutus oleh Alloh pastilah memiliki ad-din yang sama yaitu al-islam karena Alloh tidak menerima ad-din selain al-islam.
Dari ketiga ayat di atas diketahui bahwa al-islam adalah nama suatu ad-din (al-millah, jalan hidup, way of life) yang berasal dari sisi Alloh, maka al-islam bukan buah pikiran manusia. Namun boleh jadi buah pikiran manusia secara kebetulan sesuai dengan al-islam. Al-islam mewujud secara sempurna di dalam ad-din ( al-millah, jalan hidup, way of life) Rosululloh SAW dan para sahabat, ad-din mereka itu merupakan penerapan Al-Qur’an secara yang paling sempurna atas petunjuk Alloh melalui Rosululloh SAW, dengan kata lain al-islam adalah ad-din Rosululloh SAW dan para sahabat. Jika dirinci, Rosululloh SAW secara individu adalah pihak yang paling tahu tentang al-islam dan yang mengamalkan dengan sempurna karena beliau SAW yang menerima wahyu dari Alloh beserta penjelasannya, sehingga dapat dikatakan al-islam itu sesungguhnya adalah ad-din (al-millah, jalan hidup, way of life) Rosululloh SAW yang disebut dengan as-sunnah, maka al-islam adalah as-sunnah dan as-sunnah adalah al-islam. Kemudian para sahabat adalah pihak yang mendapat didikan secara langsung tentang al-islam dengan sebaik-baik didikan, sehingga para sahabat adalah rujukan bagi orang yang hidup setelah mereka di dalam memahami al-islam. Mereka adalah pihak yang mesti diikuti di dalam memahami dan mengamalkan al-islam (surat At-Taubah (9) ayat 100). Sehingga bentuk-bentuk ’ibadah (pengabdian) kepada Alloh yang tidak ada pada Rosululloh SAW dan para sahabat tidak bisa disebut dengan al-islam, dan inilah yang dinamakan bid’ah. Dikatakan dalam hadits bahwa setiap bid’ah adalah sesat, dikatakan demikian karena amal ’ibadah tersebut dikira al-islam padahal bukan al-islam dan tidak diterima oleh Alloh.
Dan diketahui bahwa menurut apa yang tertulis di dalam Al-Qur’an ad-din itu ada dua yaitu al-islam dan ghoirul-islam, tidak ada yang ketiga, sebagaimana juga dalam kehidupan di dunia ini hanya ada dua jalan yaitu al-haq dan al-bathil. Dalam hal ini al-islam adalah jalan al-haq atau disebut juga dinul-haq (surat At-Taubah (9) ayat 33) dan ghoirul-islam adalah jalan al-bathil. Adapun tentang agama, maka di dunia ini banyak sekali agama dan juga ada banyak sekali yang tidak termasuk agama sepeti atheisme, liberalisme, kapitalisme, sosialisme, komunisme, humanisme dan seluruh isme-isme lainnya.
Orang zaman sekarang mengetahui al-islam hanya dari Al-Qur’an dan Al-Hadits (yang shohih) karena hanya dari kedua sumber inilah, sekarang ini, tersimpan al-islam. Pengtahuan orang zaman sekarang tentang al-islam tidak akan menyamai pengetahuan Rosululloh SAW dan para sahabat tentang al-islam, oleh sebab itu Rosululloh SAW dan para sahabat disebut oleh Alloh sebagai “khoiru ummah” (surat Ali Imron (3) ayat110), yang mana ini berarti kemuliaan seseorang disisi Alloh ditentukan oleh sejauh mana kesesuaian antara ad-din ( atau al-millah, jalan hidup, way of life) mereka dengan al-islam. Dalam hal ini jelaslah bahwa Rosululloh SAW adalah orang yang paling mulia disisi Alloh, kemudian para Nabi dan Rosul yang lain, kemudian Abu Bakar, Umar, dan seterusnya.
Itu adalah jawaban atas pertanyaan Apa sih Islam itu ? Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah Bagaimana Islam itu ? Tunggu jawabannya di tulisan berikutnya.